Goodbye nantulang, and our deepest apologies :(

I’m enjoying my Christmas down time with grateful heart, since I’ve been traveling regularly for work until right before Christmas. I’ve done my dentist appointments (loose filler, fortunately I saved the inlay so doctor can attach it again, which saved me IDR 4 million since I don’t have do make another inlay, yay!); coffee, lunch and meet up with friends; spend time with mom; and eat my fill of Christmas meals. However, just as I was getting ready to go to the office on Thursday, we had a shocking news.

My aunt, the wife of my late uncle, passed away on Thursday in her sleep. It was a shocking news as her husband passed away on New Year, 2 years ago. We were not sure how to proceed at first, as she lived on southern edge of Jakarta, far away from us. I’m sure that the first feeling most of us felt was guilt, as we didn’t see her as often as we should after her husband passed away.

Thankfully, her family took over the arrangement for her burial. Among the two families, we decided to forgo the “adat” ceremonies as the couple did not have children; instead of holding a wake to wait for the elders (raja adat) to decide on the ceremony and time of burial, the two immediate families decided to simply inform their respective extended family and hold the burial immediately on Thursday. We are very grateful for the local church where my aunt’s family goes, as they go above and beyond in helping the grieving family with arrangements. Upon hearing about the news, the pastor and Church elders immediately went to action. They contacted the burial service company for casket and hearse service, went to local cemetery to secure a plot (one of the Church lady told me that initially the local cemetery care taker was reluctant to prepare a plot as the burial service will be conducted close to maghrib, which was a plea for extra fee), and even taking care of the autopsy paper. I am eternally grateful for their services.

When we got to the house, the casket was not arrived yet as the company is located on central Jakarta. Thank goodness, they arrived 10 minutes after us. The very nice pastor actually waiting on the street for the hearse, as it was not easy to find the house. We had the short service before going to the cemetery, which is located about 20 minutes away.

The Christian section of the cemetery is located on the hilly part, bordering with a small river. It was  over 5PM when we started the burial service, and it was a beautiful service. The sermon was short but uplifting, the surrounding was peaceful as the sun started to set, the faint sound of adzan Maghrib on the background add to the solemness of the occasion. I couldn’t hold my tears as I have my regrets, and I’m so sorry that I haven’t been a good niece to her.

Dear Nantulang, we owed you a lot. I held myself responsible for broken promises, unrealized expectation, on top of many other regrets I have. I hope you forgave us, I truly hope you did. As now you have gone beyond this earthly struggle, I know you have come to the eternal peace.

Until we meet again. And I’m so sorry.

17851_277665372920_2812926_n

Mamak vampir

Kondisi mama sebetulnya stabil, karena beliau nggak dalam keadaan kesakitan. Tapi dokter menyuruh untuk cek HB setiap bulan, makanya kemaren sebelum ke dokter lagi, dicek lah darahnya di Pramita. Sengaja nggak pake lab RSCM yang BPJS, maksudnya biar hasilnya beberapa jam bisa keluar, bisa di-email pula.

Dan hasilnya sodara2…. HB 5.4 saja. Tetewwwww!

Dokter poli hepatologi langsung pusing liatnya, karena mama sama sekali nggak kayak orang yang darahnya setengah kosong begitu. Pusing nggak, keleyengan nggak, dan hanya setelah dilihat langsung baru keliatan matanya pucat. Kalo nggak dicek, gak bakal nyadar kalo HBnya udah drop sekian banyak dalam sebulan. Tindakannya jelas, musti transfusi. Pilihannya mau dimana, Budhi Asih seperti biasa, atau di RSCM. Kami diberi rujukan ke HOM (Hemologi Onkologi Medik), bagian dari Poli Penyakit Dalam yang antriannya puanjang kayak antri tiket kereta mudik.

Setelah dipikir panjang lebar, kami memutuskan coba dulu ke HOM. Antara penasaran gimana sih caranya mau transfusi di RSCM dan berharap dapet penjelasan lebih detail mengenai kenapa HBnya mama bisa turun sendiri kayak layangan putus gitu. Dokter Hepa sih udah mengingatkan bahwa transfusi di RSCM itu gak bisa langsung, pake penjadwalan dulu. Saya pikir ya sudahlah dicoba aja, kalo seandainya mama kenapa2 toh bisa langsung lari ke IGD-nya Budhi Asih.

Tadinya saya berharap bisa langsung dari Hepa ke HOM, tapi ternyata nggak bisa. Harus balik lagi besok, daftar BPJS lagi, antri lagi untuk ketemu dokter. OK lah, besoknya saya daftar ke poli HOM berbekal surat rujukan dari Hepa. Jam 6.15 saya sudah nyampe RSCM untuk mulai ngantri pendaftaran pasien BPJS. Begitu dapat SEP, saya langsung lari ke lantai 2 dan taruh berkas di loketnya HOM. Antri sejak 6.15 itu baru dipanggil tensi jam 9 lho 🙂 Seperti biasa saya memang bagi tugas. Saya yang antri dari pagi, adek yg bawa mama ke RS. Jadi pasiennya nggak ikut nunggu dari pagi…. bisa drop beneran nanti. Hari itu mungkin dokter di HOM cuma sedikit karena walaupun mama dapet antrian nomer belasan, baru ketemu dokter jam 11.

Sebagaimana biasanya dokter di poli RSCM, di HOM pun isinya dokter2 yang sedang pendidikan spesialis penyakit dalam. Kami diarahkan ke satu dokter yang belom pernah ditemui sebelomnya. Ini dokter mukanya pleeeng….. dataarrr banget. Sementara di kamar sebelah, ada dokter muda yang kami sudah familiar karena sebelumnya dia banyak ngurusin mama di poli Gastroenterologi. Si dokter muka lempeng itu cuma nanya, nanya, nulis, nulis, nuliisssss…. sampe mama salting sendiri karena dia emang paling gak bisa hadapan sama orang yg pendiem. Udah nulis panjang lebar di lembaran rujukannya, si dokter cuma bilang, OK, besok transfusi.

Eh, excuse me. Cuma segitu doang?

Mungkin nada suara saya udah nyolot ketika nanya, “dok, apa penyebabnya HB ibu saya turun drastis begini? Bulan lalu tuh masih 8.6 sekarang bisa turun segitu banyak”.

Trus dokter muka lempeng ngeliatin, entah lah apa yang dia pikirkan.

“Karena limpanya bekerja terlalu aktif, dan fungsi limpa menghancurkan sel darah. Jadinya ya HBnya turun. Ini kondisi umum untuk penderita sirosis.”

Penjelasan ini sebenernya udah saya denger dari dokter Hepa. Tapi karena saya sebel, jadi ngeyel.

“Oh, jadi penjelasannya sama aja ya dok.”

“Iya,” kata si muka lempeng ini.

Baiklah. Kirain setelah 2 hari balik ke dokter, jalan jam 5 pagi dari rumah, nunggu 2 jam baru ketemu dokter, ada penjelasan yang lebih jelas lagi. Ternyata memang tidak ada. Tapi sebel juga cuma dibilang, ok besok transfusi.

Dokter muka lempeng kemudian memberi formulir pengantar transfusi, kemudian kami pergi ke ruang sudut untuk ambil sampel darah. Disitu ada suster yang ambil darah dan stempel surat2, dia juga kasih penjelasan mengenai prosedur persiapan transfusi.

Yang harus dilakukan adalah:

  1. Bawa formulir transfusi beserta sampel darah ke Bank Darah (Unit Pelayanan Darah Terpadu). Lokasinya di gedung RSCM Kiara sebelah samping, tepatnya yang berhadapan dengan taman. Bawa copy kartu BPJS, KTP, dan KK. Kasih ke petugasnya, akan ditanya kapan transfusinya, disuruh tunggu, lalu dibuatkan tanda terima. Tanda terima ini dibawa saat transfusi.
  2. “Tebus” perlengkapan transfusi di apotik. Beda dengan umumnya poli rawat jalan di RSCM yang apotiknya di lantai 3 (dan ramenya juga naujubilah), semua resep dari HOM diambilnya di Satelit Farmasi samping Unit Pelayanan Jantung Terpadu (jadi keluar dari gedung rawat jalan menuju ke Gedung A). Prosesnya sama seperti kalau mau ambil obat dengan resep online di poli lain. Dateng ke apotik, bawa fotokopi SEP 2 buah (kalo di apotik lt. 3 minta 3 copy SEP dan resep kalo ada), fotokopi kartu BPJS dan KTP. Disuruh tunggu, kemudian dikasih nomer antrian. Nomer antrian ini seharusnya untuk ngambil obat, tapi pada prakteknya semua peralatan transfusi itu akan dianterin ke poli HOM. Makanya saya sih minta nomer antriannya aja, lalu bilangin bahwa saya akan balik lagi besok.

Pada hari H transfusi, kami disuruh datang jam 8. Ini tentu maksudnya datang ke poli HOM jam 8, sementara proses pendaftaran mah dimulai sepagi biasa. Jadi untuk 3 hari berturut2 saya jalan dari rumah jam 5.15 untuk mengejar antrian pendaftaran pasien BPJS. Mama sudah saya wanti2 untuk sampai ke RSCM jam 8, gak boleh telat.

Sambil nunggu pendaftaran BPJS dibuka, saya lari ke Satelit Farmasi dengan membawa nomer antrian yang dikasih kemaren. Jam 7 sudah ada petugasnya, dan dia cuma menerima nomer antriannya dan mencatat nama pasien yang mau ditransfusi. Sudah, gitu aja. Jadi saya balik lagi ke antrian pendaftaran BPJS, urus SEP, dan segera naik ke poli HOM. Ada loketnya sendiri untuk transfusi, dimana pasien melampirkan SEP seperti biasa, kartu berobat, dan surat tanda terima dari Bank Darah. Habis diverifikasi, pasien disuruh masuk ke ruang transfusi.

Ruang transfusi adalah ruang besar di bagian belakang poli HOM. Disitu isinya 17 kursi empuk dan 3 bed. Ada bagian perempuan, ada bagian laki2. Di antara masing2 kursi ada tirainya untuk privacy jika dibutuhkan. Mama segera duduk dan mulai ngobrol2 dengan pasien yang lain.

Jam 9-an, perlengkapan transfusi nyampe di HOM. Suster mulai membagikan perlengkapan transfusi sesuai nama pemiliknya. Bisa jadi pasiennya udah duduk, perlengkapan transfusinya belum diantar, jadi tetep musti tunggu dulu. Habis itu nunggu status dianter (ini juga lama). Kemudian nunggu darahnya dianter (ini juga lam). Jadi mama masuk ruangan jam 8.30, baru mulai transfusi jam 11.30 sodara2!

Karena saya sudah disuruh keluar sejak jam 10, maka saya nunggu di luar saja. Sebetulnya nunggu di sisi HOM itu paling nggak enak, karena kita liat semua kondisi pasien yg parah2. Kasian bener lho, bapak ibu yang udah sepuh itu, ikut antri dari jam 8 pagi sampai tidur bangun di kursi roda mereka atau di bed mereka nunggu antrian dokter.

Sambil nunggu, saya boleh keluar masuk ke ruang transfusi untuk ngecek kondisi mama. Karena lama banget di dalem, akhirnya saya beliin kue dan biskuit. Kebetulan mama transfusi 2 kantong, jadi sekitar 2 jam-an deh buat transfusinya doang. Ketika cari makan siang, sekalian saya beliin juice karena kalo mau makan beneran susah dong ya dengan sebelah tangan aja. Mama sih salah satu yang paling lama disitu, karena yang lain nggak sampe sebanyak mama transfusinya.

Setelah darahnya abis, boleh langsung keluar. Saat itu udah jam 2.30 sore, lama buanget mengingat mama sampe jam 8.

Dari pengalaman transfusi di RSCM, ini kesimpulan saya:

  1. Transfusi nggak harus selalu nginep (seperti di RS Budhi Asih), ternyata bisa kok transfusi sambil duduk.
  2. Datanglah sepagi mungkin kalau mau ke poli Hematologi, karena disini antriannya ruarrrr biasa dan jumlah dokternya nggak banyak.
  3. Kalau disuruh datang untuk transfusi jam 8, datanglah sebelum jam 8 karena kalau kursi transfusi sudah penuh, harus nunggu gelombang kedua. Mengingat transfusinya aja baru mulai 1-2 jam sesudah pasien masuk, kebayang kan selesainya sesiang apa?
  4. Bawa makanan dan minuman yang mudah dimakan pakai satu tangan selama di ruang transfusi
  5. Dress comfortably, karena AC di ruang transfusi cukup dingin.

Lumayan juga ya dapet pengalaman baru. Selama ini, mama kalo transfusi musti dirawat inap di Budhi Asih, minimal 3 hari. Pasiennya sih demen, wong nginep di Budhi Asih tuh nyaman banget ruangan dan makanannya, tapi yang nemenin yang repot gantian shift pagi-sore. Kalo begini, memang saya terpaksa nggak kerja, tapi jagainnya nggak sampe siang-malam seperti kalo rawat inap.

Gitulah pengalaman nganterin si mamak vampir yang musti diisi darah terus menerus 🙂

Udah jangan sering2 ya transfusinya mak, cape nganterinnya 😀 😀