Berhenti

Setelah 11 bulan yang alot dan bikin jantungan tiap kali mau rapat pengurus, akhirnya gembala sidang kami memutuskan berhenti. Keputusan ini disampaikan beliau di WAG setelah rapat selesai.

Sungguh sayang, orang yang diharapkan membawa persatuan dan keharmonisan ternyata belum dapat menjalankannya. Mungkin jemaat ini yang terlalu tegar tengkuk, tapi tak bisa dipungkiri kalau bapak juga ada yang perlu diperbaiki. Kami sungguh ingin mendukung bapak, tapi kadang sulit untuk melakukan itu.

Kami menghormati hamba Tuhan yang diurapi. Itu ajaran pendahulu2 kita, jangan main2 dengan hamba Tuhan. Tapi apakah kita belum berjodoh? Semoga dengan kejadian ini baik kami maupun bapak diubahkan lebih baik lagi.

Sedih juga, merasa gagal sebagai jemaat sampai gembalanya menyerah 😦

Addendum:

Ditegor sama tante. Bukan gitu reaksinya. Tuhan yang taruh pak gembala di gereja ini. Harusnya pertama berdoa dulu minta Tuhan menyelesaikan hal ini.

Mysterious ways

Today we have another monthly church leaders assembly, and at some point it seems like the emotional flood gate finally break loose. After last month’s general assembly that turn almost circus-like spectacle, our new Pastor finally voice his deepest feeling. He questioned our sincerity in choosing him as a new Pastor, and whether we, the church leaders, are serious to support him in taking this role. After much needed heart to heart conversation, all leaders in this assembly have pledged to support him.

God works in mysterious way, as always. Last month’s general assembly was saved by an old church member who just got back from decades of living abroad. He alone, dared to stand and voice his disappointment on how the church of his youth has been divided. His harsh criticism had quieted everybody down, bowing people’s head in shame. Who would think that he would attend general assembly meeting and speak up? Nobody. But God used him to reprimand us. This month’s church leader’s meeting was not short of miracle. The one person who’s been vocal in his disagreement with the new pastor happen to be absent, and another person, a voice of reason, who normally won’t be in leaders’ assembly, happen to join the meeting. The absence of negative voice and the presence of the uniting voice brings us together.

Thanks be to God.

Dear Pastor, please don’t be disheartened. Please be strong in your faith. Please be humble, kind, and patient. And above all, please show us that love is the most important of them all.

and it all starts with me

Belakangan ini saya teringat akan ayat berikut, tepatnya lagunya sih, karena lagu berdasarkan ayat ini pernah saya nyanyikan di PSG dulu.

dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku  disebut, merendahkan diri,  berdoa dan mencari wajah-Ku,   lalu berbalik  dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar   dari sorga dan mengampuni  dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka.

2 Tawarikh 7:14

Ayat ini tentang pengakuan dosa, pertobatan, dan pemulihan. Saya yakin ini berlaku buat hanya negara, tapi semua kondisi kehidupan kita.

Saat ini, keprihatinan terbesar saya bukan hanya untuk negara, tapi terutama untuk gereja saya. Segala yang saya lihat dan dengar di gereja ini menunjukkan bahwa kami sedang sakit, sedang sekarat, dan bisa2 menuju kematian. Tapi seperti layaknya penyakit jantung koroner yang nggak pake tanda2 tau2 orangnya langsung mati, penyakit ini nggak banyak yang menyadari. Indikasinya sangat nyata:

Kelemahan kepemimpinan: saat pemimpin gereja berpihak kepada kepentingan satu/dua orang, bukan demi kemaslahatan umat, apakah itu pemimpin yang baik?

Pendangkalan pengajaran: hal yang diajarkan adalah yang gampang, yang ringan, yang populer, yang menyenangkan hati orang. Tidak lagi diajarkan secara runut dan rinci sesuai doktrin, bagaimana kita bisa bertumbuh sebagai orang beriman.

Pengerdilan iman: pembiaran hal-hal yang seharusnya bisa diantisipasi, bisa dibatasi, dan bisa dihindari. Pembolehan hal-hal yang sesuai dengan keinginan massa yang ingin dibuat senang, walaupun itu bertentangan dengan tradisi dan pengajaran gereja.

Yang utama bukan berbakti, tapi tampil: pelayanan adalah priviledge. Yang melayani harus siap dan memfokuskan dirinya untuk melayani. Bukan demi ‘kelihatan’ ada di depan, nanti difoto, direkam dan diupload ke FB dan Youtube. Ini ibadah cong, fokusnya hubunganmu dengan Allah, bukan mau show.

Clique: bukan lagi satu tubuh Kristus, tapi klik-klik. Elo vs gue. Kita vs mereka. Kalau nggak setuju dengan mereka, berarti musuh. Berarti gak beriman. Kok mirip kelompok sebelah aja, dikit2 menilai keimanan orang, dikit2 kapir-kapiran.

Saya prihatin seprihatin-prihatinnya (ini mirip statement bapak Mantan bukan sih?) melihat kondisi gereja dimana saya lahir dan dibesarkan ini. Rupanya kami lengah selama ini, membiarkan pengajaran yang kendor dan pengerdilan iman berlanjut2. Saat ini ibaratnya bendungannya sudah mau ambrol, karena dulu waktu bocor2 ringan nggak langsung ditambal.

Setiap minggu, saya kayak mau keselek mendengar dan melihat kontradiksi di mimbar vs di luar mimbar.

Jalan keluarnya udah dikasih sih di Tawarikh tadi. Berdoa. Merendahkan diri. Berbalik dari jalan2 yang salah. Dan semua harus dimulai dari diri sendiri. Buat pemalas macam saya, mau menghabiskan waktu sekian menit buat berdoa aja susah bener. Jadi sebenernya semua ini salah saya juga, karena saya yang gak berjaga2 dan gak waspada.

Paragraf terakhir emang gak nyambung, tapi sudahlah. Saya lelah. Banget.

 

 

 

 

Back to the heart of worship

Today, I was reminded of what is the essence of act of worship. A young woman come up and sing this special song:

Heart of Worship

When the music fades
All is stripped away
And I simply come

Longin’ just to bring
Something that’s of worth
That will bless your heart

I’ll bring You more than a song
For a song in itself
Is not what You have required

You search much deeper within
Through the ways things appear
You’re looking into my heart

I’m comin’ back to the heart of worship
And it’s all about You
It’s all about You, Jesus

I’m sorry Lord for the thing I’ve made it
When it’s all about You
It’s all about You, Jesus

The King of endless worth
No one could express
How much You deserve? Lord

Though I’m weak and poor
All I have is Yours
Every single breath

I’ll bring You more than a song
For a song in itself
Is not what You have required

You search much deeper
You search much deeper within
Through the way things appear
You’re looking into my heart

I’m comin’ back to the heart of worship
And it’s all about You
It’s all about You, Jesus

I’m sorry Lord for the thing I’ve made it
When it’s all about You
It’s all about You, Jesus

I’m comin’ back to the heart of worship
And it’s all about You
It’s all about You, Jesus

I’m sorry Lord for the thing I’ve made it
When it’s all about You
It’s all about You, Jesus, yeah
It’s all about You

Every song we sing
Every breath we breathe, Jesus
Its all about You
It’s all about You, Lord

I’m comin’ back to the heart of worship
And it’s all about You
Since it’s all about You, Jesus

I’m sorry Lord for the thing I’ve made it
When it’s all about You
It’s all about You, Jesus

Sing to say, it’s all about You
Every melody every heart beat
Every breath we breathe
It’s all about You

There’s no one
It’s all about You
It’s all about You
It’s all about You

To be honest, she’s not the best singer at church. There were others with better singing voice than hers. She sang this song in a very simplistic manner, no twist and turns anywhere, nothing fancy, but then we all can follow the lyrics and understand the messages of this song.

I find this kind of singing is more sincere and engaging than the great ‘performance’ by others. Sometimes the singers and musicians (I sometimes am guilty of this since I’m also a singer) think of ways to sounds good, to entertain the congregation, to inspire compliments and awe of our mad skills. We forgot that our song during the service is to praise God, to realize our devotion, and to worship Him.

Again and again we have to assess ourselves, remind ourselves of what our motivation in worship is. Check our motivation often, and be honest. If pride start creeping in, pray for forgiveness. Because in anything we do, that include any act of worship, the heart of them all is God.

Let this be a constant reminder for myself, especially during these times when we’re busy preparing for Christmas Cantata. Let me be reminded of my motivation in joining the choir, that I want to worship God with all my talents, ability and skill that God has given to me.

Thank you Glo for the sweet reminder.

We three kings of Orient

It’s Christmas, and it’s wonderful. After months of practice and weeks of intense practice, we performed the Cantata. There were hiccups here and there, but all and all, we did well.

The three kings bear gifts of gold, frankincense, and myrrh to give to Jesus. We only have our hearts to give, as our motivation is to give praise to God only through our singing.

Have a merry Christmas one….

Praise God above, ye heavenly hosts!

My church is decked up for Christmas. Needless to say, the decor team has been working overtime and will continue to do so until new year. The highlights of this year’s decor is series of angels on the windows. At first, we thought that they were store bought, but turned out that these angels were handmade by one of our member, an graphic designer in his mid 20s. These angels were made from styrofoam with amazing details. These angels were not the last of his creation, as he also created another set of Magi following the star of Bethlehem, which I plan to photograph on the 24th when they were lighted 🙂

For now, these are the angels. There are more at Church but I think these are the best of the series.

Pujian yang diperkenan Tuhan

Oktober, seperti biasa, adalah bulan musik di gereja saya. Selama bulan Oktober, kebaktian akan berfokus kepada penyembahan melalui pujian (lagu) dan musik. Biasanya akan ada paduan suara atau vokal grup, baik tamu maupun internal, yang akan menyampaikan pujian istimewanya. Tujuan bulan musik adalah supaya jemaat diingatkan akan perlunya penyembahan melalui pujian, bagaimana menyembah dengan benar, dan indahnya penyembahan kepada Tuhan.

Hari ini topik khotbahnya adalah bagaimana caranya supaya pujian kita diperkenan Tuhan. Bagaimana supaya puji-pujian dan penyembahan kita tidak membuat Tuhan jemu. Inti khotbahnya hanya tiga, tapi betul2 mengena.

Penyembahan yang berkenan kepada Tuhan adalah:

– berasal dari hati. Pemazmur mengatakan “hatiku siap” sebelum memulai puji-pujiannya, bukan mengatakan “paduan suara siap, tim musik siap”. Pujian yang benar berasal dari hati. Jika ingin memuji Tuhan, kita harus mempersiapkan hati kita untuk memasuki saat yang indah yaitu saat penyembahan. Ini relevan sekali terutama untuk anggota Paduan Suara seperti saya. Kadang menyanyi di kebaktian menjadi seperti tugas saja, keharusan, bahkan rutinitas. Akibatnya tidak ada  persiapan hati,. Bisa jadi juga kita lebih sibuk dengan persiapan teknis atau menyanyi dengan motivasi yang tidak pada tempatnya, sehingga pujian datangnya dari mulut saja. Buat saya yang sudah puluhan tahun ikut paduan suara, banyak lagu yang sudah saya hafal nada bahkan sampai dinamikanya.Tidak terlalu sulit untuk menyanyikan dari ingatan saja. Tapi itu adalah “tampil” atau menyanyi tanpa hati. Yang mendengar mungkin tidak bisa membedakan, karena toh saya menggunakan talenta saya sepertinya untuk memuji, tapi Tuhan yang maha tau isi hati kita akan melihat kalau saja pujian itu datangnya bukan dari hati. Dengan demikian, pujian itu adalah sia-sia.

– ada pengakuan. Kita dapat saja menyanyikan pujian-pujian dengan kata-kata seindah Mazmur Daud, tapi kalau ketika menyanyikan lagu-lagu tersebut tidak timbul pengakuan akan kebesaran, kasih setia, penyertaan, dan kuasa Tuhan dalam hati kita secara pribadi, artinya kita hanya menyanyi di bibir saja. Segala yang kita nyanyikan itu hanya ‘lewat’ begitu saja, karena tidak membangkitkan pengakuan dalam diri kita.

– adanya komitmen iman. Misalnya dari suatu pujian, kita mengakui bahwa Allah adalah kasih dan setia. Lanjutannya, ada komitmen kita untuk percaya akan kasih setia Tuhan dan hidup dengan setia kepada firmanNya. Kalau kita sudah mengakui bahwa penyertaan Tuhan selalu ada, maka lanjutannya adalah komitmen untuk tidak hidup dalam keragu-raguan dan kekhawatiran.

Tiga hal yang sepertinya singkat, tapi dalam. Makanya saya tulis kali ini, karena sangat-sangat relevan dan menegur buat saya.

Walaupun mungkin tidak secara langsung tersambung dengan khotbah di atas, saya ingin menyatakan bagaimana puji-pujian sangat menguatkan buat saya. Saya adalah orang yang suka menyanyi dan aktif di paduan suara sejak remaja. Karena gereja saya cukup konvensional, lagu-lagu yang kami nyanyikan di paduan suara umumnya bukan lagu gospel kontemporer, sementara lagu di kebaktian sendiri kebanyakan adalah lagu pujian tradisional dari buku nyanyian jemaat. Bagi banyak orang, lagu-lagu seperti itu mungkin dianggap kuno dan tidak berenergi, tidak menggugah seperti lagu Hill Songs misalnya. Tapi buat saya pribadi, lagu-lagu pujian tradisional yang sering kali dinyanyikan sampai hafal itu adalah ‘senjata’ saya. Pada saat saya lemah dan hampir jatuh, saya mungkin tidak berada dekat dengan Alkitab atau tidak ingat ayat mana yang dapat menguatkan saya. Ketika saya berdoa minta Tuhan kuatkan, Tuhan menjawab dengan mengingatkan saya akan sebuah lagu dari buku nyanyian atau lagu yang pernah saya nyanyikan di paduan suara yang sangat relevan dengan kebutuhan saya saat itu. Kadang saya heran sendiri, karena saya bisa teringat lagu-lagu yang jarang dinyanyikan, tapi kata-katanya pasti sangat tepat untuk menguatkan saya. Saya percaya itu tidak terjadi karena pengenalan yang dalam akan lagu, atau kemampuan saya untuk menghafal lirik sekian banyak lagu, tapi memang Tuhan yang mengarahkan saya ke lagu itu. Kadang liriknya juga tidak saya ingat betul, tapi menyenandungkan lagu tertentu bisa meneduhkan hati saya.

Saya sering menyenandungkan lagu-lagu penghiburan (yang biasanya dinyanyikan saat kedukaan dan penguburan) dan menemukan kekuatan baru dari lirik lagu-lagu tersebut. Saat saya gelisah, khawatir, dan hampir panic attack, yang saya ingat adalah Nyamanlah Jiwaku (It Is Well With My Soul). Ketika saya kecil hati atau putus asa karena merasa kok orang lain lebih beruntung dari saya, yang saya nyanyikan adalah Hitunglah Berkatmu. Ketika saya sedang berbunga-bunga karena senang, yang saya ingat adalah lagu Allah Bapa Kami Puja. Ada banyak lagi contohnya. Bahkan lagu-lagu yang rasanya sudah hafal luar kepala, kalau perlu dari ayat 1-4, jika dinyanyikan lagi maka akan menampilkan satu sisi yang sebelumnya saya tidak sadari, dan yang paling penting, relevan untuk menguatkan saya!

Dari sekian banyak lagu, kalau ditanya apa saja lagu favorit saya maka rata-rata temanya adalah “jangan takut karena Tuhan menyertaimu”. Dengan demikian, lagu-lagu yang diambil dari Mazmur 27Mazmur 91 adalah juaranya, karena janji perlindungan dan penyertaan Tuhan kepada umatNya dalam Mazmur ini sangat luar biasa! Dan setelah diingat-ingat lagi, kalimat yang paling sering saya ulangi dalam hati adalah cuplikan dari lagu Di Atas Sayap Rajawali (On Eagle’s Wings) yang ini: Tak perlu takut gelapnya malam, atau panah waktu siang terbang. Ribuan orang jatuh, engkau tetap tegak. Luar biasa sekali kata-katanya… ribuan orang jatuh, engkau tetap tegak! Buat saya, ini menegaskan dan menegaskan sekali lagi janji penyertaan Tuhan. Semua itu saya ingat lagi berkat adanya lagu-lagu pujian seperti ini!

On Eagle’s Wings (by Michael Joncas)

You who dwell in the shelter of the Lord,
Who abide in His shadow for life,
Say to the Lord, “My Refuge,
My Rock in Whom I trust.”

CHORUS:
And He will raise you up on eagle’s wings, / Bagai sayap burung rajawali
Bear you on the breath of dawn, /  kau kan ditinggikanNya
Make you to shine like the sun, bersinar sperti surya
And hold you in the palm of His Hand. / kau dipegang dalam tanganNya.

The snare of the fowler will never capture you, 
And famine will bring you no fear;
Under His Wings your refuge,
His faithfulness your shield.

CHORUS

You need not fear the terror of the night, / Tak perlu takut gelapnya malam
Nor the arrow that flies by day, atau panah waktu siang terbang
Though thousands fall about you, / Ribuan orang jatuh,
Near you it shall not come. / engkau tetap tegak.

CHORUS

For to His angels He’s given a command,
To guard you in all of your ways,
Upon their hands they will bear you up,
Lest you dash your foot against a stone.

CHORUS
And hold you in the palm of His Hand.

Ketika Tuhan Terlambat

Hari ini adalah hari kedua (terakhir) dari KKR di gerejaku, yang temanya “Ketika Tuhan Terlambat”. Judulnya agak bikin garuk2 kepala, ya? Bukannya kita selalu diingatkan, indah pada waktunya, Tuhan tahu kebutuhan kita, dll, dsb, tapi kok bisa terlambat, ya?

Tema tersebut dibawakan dengan sangat baik oleh penghotbah Pdt. Andreas Rahardjo. Mendengar khotbahnya, jadi kangen sama Surabaya. Maklum dulu sering sekali tugas ke Surabaya dan cukup akrab mendengar celetukan Suroboyoan yang memang lucu (baik logat maupun isi), tapi cukup keras. Pendeta Andreas khotbahnya ringkas, terstruktur, gak banyak ‘filler’ dan pol dari Alkitab, tapi cukup menempelak juga. Total tiap khotbah nggak sampe 1 jam deh, jadi perhatian fokus kepada isinya.

Supaya nggak lupa, terutama karena ini PENTING banget buat bekal menjalani hari2 depan (dan supaya jangan sampai kita pernah ngambek sama Tuhan, nuduh Tuhan telat!!), maka saya tuliskan saja inti dari khotbah kedua hari ini.

Khotbah di KKR ini mengambil perikop-perikop yang sudah sangat dikenal mengenai mujizat yang dilakukan Tuhan Yesus, tepat pada waktunya (alias Tuhan tidak terlambat). Sangkin akrabnya sama cerita-cerita ini dari kecil di Sekolah Minggu, mungkin kita nggak pernah mikir lebih dalam lagi mengenai kisah ini. Tuhan bikin mujizat, so what gitu lho? Atau, mujizat terjadinya jaman dulu aja, sekarang udah nggak lagi.

Hari pertama, khotbah diambil dari Lukas 5:1-11 di bawah perikop “Penjala Ikan Menjadi Penjala Manusia”. Apa saja syarat untuk mendapatkan mujizat Tuhan?

1. Mau berkorban (ayat 3). Disitu dikatakan bahwa Simon sudah capek semalam-malaman (berusaha) menangkap ikan (nggak dapet apa2 pula, bete banget pastinya!), tapi Yesus meminta Simon untuk bertolak sedikit menjauh dari pantai supaya Ia bisa mengajar orang banyak dari atas perahu. Bayangkan, sudah capek kerja, nggak ada hasil, eehh… disuruh pula nungguin Yesus mengajar. Mungkin sangat masuk akal kalau Simon mau pulang aja dan tidur (atau kalau versi diri sendiri, mending nongkrong nyari kopi atau bir dingin sambil melepas cape), tapi Simon mau mengatasi keadaan fisik dan mentalnya dan mau berkorban, mau dipakai. Kalau Simon milih pulang trus tidur, mungkin dia gak akan dipakai Tuhan secara luar biasa menjadi Rasul.

2. Bekerja keras (ayat 5a). Simon sudah bekerja keras semalaman menebarkan jala. Jadi Simon bukan tipe yang cuma duduk2 trus ngarep rejeki turun dari langit. Dia pekerja keras, dan Tuhan menghargai orang yang berusaha. Ingat, ora et labora. Ada laboranya, bukan ora thok.

3. Taat (ayat 5b). Simon, si nelayan profesional itu, yang mungkin dari kakek moyangnya sudah menjadi nelayan di Galilea, sudah semalam-malaman menebarkan jala tapi tidak berhasil menangkap apa2. Eehh… kok disuruh dia untuk menebarkan jala lagi? Nelayan menangkap ikan di malam hari, bukan siang. Kalau malem aja nggak dapet apa2, masakkan siang bisa dapat? Begitu kan logikanya? Simon bisa saja bilang, Yesus, engkau adalah tukang kayu, emangnya ngerti soal menangkap ikan? Tapi Simon tidak melakukan itu. Sebaliknya dia berkata, “karena Engkau menyuruhnya, maka aku akan menebarkan jala juga”. Taat. Walaupun secara manusia dia mungkin pengen garuk2 kepala pake jangkar sangkin absurdnya instruksi itu, tapi dia taat. Karena dia taat, mujizat terjadi.

4. Tidak egois (ayat 7). Simon, yang semaleman nggak nangkep apa2 itu, tiba2 ketiban untung mendapatkan tangkapan yang luar biasa. Secara manusiawi, bisa saja dia berpikir, ah ini emang rejeki saya…. buat saya semua. Tapi Simon, setelah mendapat mujizat yang luar biasa, tidak egois. Dia memanggil teman2nya di perahu lain untuk membantu menarik jaringnya. Di ayat 6 dikatakan kalau jaring mulai koyak karena banyaknya tangkapan. Kalau Simon egois dan kekeuh menarik sendiri, dijamin jaringnya koyak beneran dan ikannya lepas lagi. Tidak egois, berbagi mujizat, berbagi berkat yang dari Tuhan.

5. Kerendahan hati (ayat 8). Ketika Simon melihat semuanya itu, tersungkurlah ia di depan Yesus dan berkata, “Tuhan, pergilah daripadaku karena aku orang berdosa”. Menurut Pdt Andreas, tersungkur ini adalah salah satu unsur yang semakin jarang dari kekristenan masa kini. Disini saya berasa tertampar. Jangankan tersungkur, curhat sama Tuhan pun saya jarang.

6. Penyerahan hidup (ayat 11). Mereka, yaitu Simon dan teman2 nelayannya, kemudian meninggalkan segalanya lalu mengikut Yesus. Nah, kalau sudah menikmati mujizat sekali, dan ingin seterusnya mengalami mujizat dan menjadi saluran berkat, tentunya harus mengikut Yesus. Apakah artinya semua orang harus menjadi pendeta atau pengkhotbah? Nggak. Meninggalkan segalanya itu berarti meninggalkan dosa lama, kebiasaan lama, sifat lama, dan mengikut Yesus dalam artian menjadi semakin seperti Yesus dalam kesucian hidup, tingkah laku, dan kematangan iman. Susah? Ember. Perlu usaha dan doa, tapi juga perlu tekat yang mendalam dari kita sendiri.

Inti dari khotbah ini? Kita butuh, butuh, butuh Tuhan dalam suatu keadaan, dan kita menunggu2 campur tangan Tuhan dalam masalah kita. Apakah kita sudah menjalankan 6 poin di atas? Kalau nggak, jangan salahkan Tuhan kalau mujizatnya nggak datang2, karena kita sendiri memang menutup berkat Allah dengan kelakukan kita sendiri. Kalau kata Pak Andreas, Tuhan itu sangat ingin berkarya, bermujizat dalam hidup kita. Masalahnya, kok kita yang nutup2in jalan Tuhan. Nah, salah siapa kalo dibilang ‘telat’?

Hari kedua diambil dari Yohanes 2:1-11, di bawah perikop “Perkawinan di Kana”. Ini mujizat Yesus yang pertama, dan kayaknya paling kurang byar soalnya cuma mengubah air menjadi anggur. Nggak ada orang yang disembuhkan, gak ada roh jahat yang diusir. Cuma dari air menjadi anggur doang, apa istimewanya? Namun menurut Pdt Andreas, ini adalah mujizat yang luar biasa karena menunjukkan kepada kita bagaimana jika kita ingin mengalami mujizat Allah.

1. Hadapi masalah, jangan lari dari masalah. Masalah di perikop ini adalah kekurangan anggur di sebuah pesta perkawinan, padahal baru hari ketiga. Secara tradisi, pesta pernikahan pada masa itu di kalangan orang Yahudi adalah 7 hari. Kalau hari ketiga saja sudah kehabisan, masalah bessaarrr!! Tapi masalah itu, ketika hadir, dihadapi saja, jangan lari dan jangan tutup mata seakan2 masalah tidak pernah ada. Pak Andreas berkata, dalam hidup ini kita mungkin akan mengalami “kehabisan anggur” juga. Mungkin kehancuran finansial, keluarga, dll. Tapi dalam keadaan kehabisan anggur inilah kita bisa mengandalkan resources yang dari Tuhan, karena kalau tidak, kita akan mengandalkan resources dari diri sendiri (tertoyor).

2. Ketika ada masalah, lapor – serahkan pada Tuhan (ayat 3). Ilustrasinya disini, ketika terjadi masalah kehabisan anggur, maka Maria menyampaikannya kepada Yesus. Again, buat orang yang jarang curhat sama Tuhan, ini juga templakan.

3. Kalau mau mengalami mujizat, biarkan Tuhan yang mengaturnya (ayat 4). Jangan memperlakukan Tuhan seperti ‘pawang’ berkat, pawang tolak bala, dll dsb. Tuhan punya waktu dan cara sendiri, kita minta saja dengan berserah kepada Tuhan. Di perikop ini, Yesus mengatakan bahwa waktu-Nya belum tiba.

4. Hanya mengandalkan Tuhan (ayat 5). Sikap Maria, walaupun dikatakan bahwa waktu-Nya belum tiba, nggak langsung mutung (angkat tangan sendiri). Nggak ngambek trus bilang, ya udah kalo nggak mau nolong…. Tidak. Maria bilang kepada pelayan2, apa pun yang disuruh Yesus, lakukan saja. Ini menunjukkan penyerahan diri dan iman yang luar biasa. Yang diandalkan hanya Tuhan, karena emang gak ada lagi resource lain selain Tuhan.

5. Jangan membatasi mujizat Tuhan, karena hanya Tuhan sendiri yang tahu dari mana dan lewat mana Dia mau memberikan mujizat kepada kita (ayat 6-7). Yesus menyuruh pelayan-pelayan untuk mengisi tempayan dengan air. Masalahnya, tempayan itu adalah tempat air buat mencuci kaki. Buset, ini yang habis anggur buat pesta kawinan, lho. Pasti tempatnya bukan tempayan cuci kaki ya…. bisa saja kan pelayan2 bilang, isi buyung air aja deh, jangan tempayan cuci kaki begini. Tapi nggak, mereka mengikuti semua yang diperintahkan Yesus. Dan air dari tempayan yang cuma buat cuci kaki itulah yang kemudian menjadi anggur dengan mujizat Tuhan.

6. Iman dan ketaatan (ayat 8). Pelayan kemudian disuruh mencedok air dari tempayan itu untuk dibawa kepada pemimpin pesta. Kalau secara manusiawi, pelayan2 itu mungkin takut dipecat ya…. masak bawakan air (again, dari tempat buat cuci kaki!) kepada pemimpin pesta yang terhormat?? Nggak masuk akal banget. Tapi mereka taat, dan mereka melakukannya. Pak Andreas bilang, mujizat terjadi ketika air itu dibawa ke pemimpin pesta. Terjadi perubahan, terjadi mujizat, ketika dengan iman dan taat para pelayan itu membawa air kepada pemimpin pesta. Kalau mereka nggak taat dan ragu, mungkin ketika sampai ke pemimpin pesta, air itu tetap adalah air. Mujizatnya nggak jadi, karena kurang iman dan ketaatan.

7. Mujizat itu terdinya untuk kemuliaan Tuhan (ayat 11). Ketika kita menerima mujizat dari Tuhan, kembalikanlah segala hormat, puji dan syukur kepada yang memberi mujizat. Nggak tepuk dada dan bilang, ini karena saya. Nggak. Mujizat itu membuat kita semakin bersyukur dan menyaksikan kemuliaan dan kasih Tuhan.

Nah, itulah resep2nya untuk mengalami mujizat dari Tuhan, sehingga saat ada masalah kita tidak tenggelam sendirian dan marah2 sama Tuhan karena merasa Ia terlambat.

Sungguh firman yang disampaikan 2 hari ini mengingatkan, menegor, dan menempelak saya. Sangat, sangat relevan di saat saya sedang mencari kerjaan. Anggur hampir habis, ingat untuk mengandalkan resources dari Tuhan dan minta mujizat dari pada-Nya.

Begitulah garis besar KKR ini…. dituliskan supaya bisa dibaca2 lagi dan bisa menguatkan lagi di saat sedang butuh mujizat dari Tuhan.

Pengalaman pribadi: Tuhan nggak pernah terlambat dalam hidup saya. On time. Memang anggur sempat habis, tapi Tuhan membuka jalan dan mencukupkan.

Christmas Cantata 2013

After all the drama (an expensive drama, I have to say), but with tremendous amount of prayers, we had been able to sing this cantata: Agnus Dei Lamb of God, Born to Us by David Hamilton. The songs are not easy, and we’ve been practicing since September. The last week it seems that we’ve been coming to church every day for practice, and the end, it was worth it. I’m touched by the dedication of the choir members. They are not the regular church choir members (some are): most of them are housewives that don’t normally sing in a choir. But their willingness to learn, their eagerness to serve, and their total devotion are really heart warming. We did this one much better than last year’s Cantata. Of course, there are some mistakes here and there, but nothing fatal. And I have to say, the piano was played beautifully too!

Dear God, we know You heard our prayers, that we want to praise and worship you through this Cantata. It’s not a performance, it’s our testimonies of faith through our voices.

Kantata 2013a