Tak jadi terbang

“Ibu akan ikut ke acara di Makassar?”

Sumpah, pengen banget. Udah gatel banget pengen terbang, pengen lihat dunia dari ketinggian 30,000 kaki, pengen keluar dari Jakarta. Tapiiiiiiiiiiiii…. demi penghematan anggaran terpaksa gue tolak deh. Hanya staf yang bener2 harus pergi saja yg boleh berangkat.

Bye Makassar…. lain kali kita ketemu lagi ya. Kangen makan seafood 😦

Setahun lalu

Pas setahun lalu ada di….

The National Art Gallery… tetap masuk 20 menit sebelum tutup. I don’t have favorite artwork here, but I love the building with its beautiful rotundas and spacious halls.
My favorite Smithsonian museum: the Natural History Museum. Pertama karena ada dinosaurus, kedua karena ada batu2 berharga ini. Setiap kali ke DC pasti usaha untuk mampir kesini.
Smithsonian Castle on the way to Metro station
Nengok kiri ada ini
Nengok kanan lihat ini

Last trip sebelum international travel ditutup gara2 COVID. Ini pun waktu pergi ngelewatin Korea cukup deg2an ya. Baliknya harus re-route lewat Jepang karena kalo dateng dari Korea musti masuk karantina 2 minggu di Jakarta. Di US sendiri waktu itu orang2 belum pada pake masker, number of cases in DC area masih sangat terbatas, tapi hand sanitizer, masker, dan desinfektan (Lysol dll) udah langka. Orang bahkan borong air botolan di Costco 😅

Bener2 the last “normal” travel before the world got shut down by COVID.

I miss the crisp early spring weather. Miss the convenience of Metro system, the beer and snacks at supermarkets, and bacon for breakfast. Semoga segera ada kesempatan untuk balik lagi ke US…. amiiinnn….

When in DC

Enjoying crisp end of winter air.

Walking up and down hill without being choked by fumes.

Taking public transport conveniently.

My favorite old hangout places.

Free museums and parks.

The joy that is bacon, biscuit and gravy.

There’s grits, but I’ll leave them alone
Crisp winter morning
Late afternoon stroll
My must visit place
Another must visit place

Back on US soil

For a training, taking the Korean route amid Coronavirus scare. Loving my new employer and thankful for this opportunity.

First thing I did was to go to supermarket for fruits and snack. Oh how I missed grocery shopping in the US.

And then I bumped into these peoducts:

Ben & Jerry’s my love!!
My favorite beer brand!
Less guilty pleasure

Isn’t funny that even everyday stuff excites me? It’s been 10 years since I’ve been in the US. Some things had changed, some stay the same. Grocery shopping still feels the same.

Food, wine, and melancholy

Terakhir kali ke Yogya di bulan Juni 2019 untuk event yang harusnya berlangsung 2 hari. Tapi malam hari pertama saya memutuskan pulang ke Jakarta karena mama harus dibawa ke IGD. Dan walaupun waktu itu cukup sering bolak balik IGD, saya nggak tenang kalo nggak nungguin sendiri. Jadilah malam2 saya memutuskan untuk cari pesawat terakhir dan pulang ke Jakarta, langsung ke RSCM dari bandara. Rasanya campur aduk waktu terbang, karena nggak tau berita apa yang akan didapat begitu mendarat dan HP aktif lagi.

Hari ini kembali lagi ke Yogya, trip2 terakhir dalam jabatan ini. Ingat di bulan Juni lalu saya sempat browsing Tripadvisor dan pengen banget nyobain Six Senses, resto Spanish/ Mediterania paling beken di Yogya sini. Tapi ya itu, saat saya menimbang2 mau pergi apa nggak, hati saya memilih pulang saja sehingga saya buru2 naik ojek ke bandara bukannya ke Six Senses. Kali ini saya bertekat mau memanjakan diri sendiri dan akan beneran nyobain resto ini. Setelah mendarat sore2, saya telpon untuk reservasi, bersih2 sedikit, lalu pergi deh.

Sempat bertanya2 sendiri apakah bisa puas makan sendirian disana, mengingat tapas dan appetizer yang ada itu enaknya dimakan bareng2 biar bisa coba macam2 jenis. Tapi masa bodoh lah, akhirnya pergi juga dengan tujuan pengen paella dan dessert. Restorannya bergaya Jawa dengan perabot Eropa, chandelier gede2 dan taman luas dengan patung2 Yunani. Sementara yang lain pada kencan, gue makan sendirian. Tapi asik aja kok. Waiters-nya attentive dan enak komunikasinya tanpa ngarah2in untuk mesen makanan tertentu. Dari awal saya udah bilang bahwa mau fokus ke main dish dan dessert, jadi nggak mesen appetizer/sup/tapas. Mungkin karena weekday ya, restonya nggak rame jadi gak ada kesan diburu2 juga supaya cepet kelar duduknya.

jog2

Saya sih suka paella-nya. Pertama, nggak benyek! Kedua, nggak over seasoned. Udah gitu isinya lumayan banyak walaupun banyakan potongan ayam. Somehow I expected scallop 🙂 Makan paella ditemani white wine, jadi enaknya nambah, hehehhee.

Setelah itu, dessert-nya datang. Sesuai kebiasaan, mesen coklat dong, yang dark pastinya. Ada dessert namanya Dark Side, sebetulnya lava cake dengan es krim sih. Tapi itu yang paling tidak manis dari dessert yang lain jadi pesen yang itu aja. Dan nggak nyesel mesen itu.

image0

Yang bubuk2 itu adalah remukan cake, dikasih es krim coklat rum (does it have actual rum? maybe) dengan sekeping crepe garing di atasnya. Asli, wanginya kayak martabak coklat kacang wijen, hahahahhaa. Yang lucu ada coklat bentuk Dart Vader because he crossed to the dark side, get it? 🙂 Untuk nemenin dessert, akhirnya mesen kopi. Ada yang namanya “cortado”, yaitu espresso dikasih susu dengan proporsi yang sama. Okelah cobain, kan belom pernah. Dessert coklat semi manis ditemani kopi pahit emang enak banget, apalagi sambil mandang taman yang ijo2. Abis itu dikasih complimentary limoncello sedikit (ukuran shot glass), jadi lumayan deh berasa buzzed abis minum wine plus limoncello.

Sambil makan, jadi merenung2 juga. Terakhir kali pengen kesini, nggak jadi karena memilih pulang nemenin mama. Selama 2 tahun mengatur jadwal mission dan berobat mama, jadi mama udah biasa denger “tunggu ya, kakak pergi ke X, Y, Z dulu nanti tanggal sekian baru kita ke dokter/lab”. Dan beliau inget lho jadwal mission saya walaupun kadang saya pergi sambung2. Pasti nanti bilang, si kakak kan abis ke X, Y, Z, dst. Sekarang bisa pergi mission tanpa ada yang nungguin, tanpa ada yang harus diatur jadwal berobatnya, tapi kok pengen seperti dulu lagi. Biarin sakit pinggang karena mendarat di Jakarta malam2 banget dan jam 5 pagi udah di RSCM lagi, biarin!

Hari ini saya menghadiri kick-off meeting untuk pekerjaan di posisi baru. Meeting formal dihadiri 10 orang lebih, sementara dari kami hanya ada 2 orang. Selama 4 jam menerima pengarahan dan keluar dari situ saya langsung ke bandara. Secara mental, agak cape. Dengan pergi makan enak, minum enak, dan ada kesempatan merenung, saya jadi rileks lagi. Tapi dalam rileks tetap muncul kerinduan yang sangat. Ma, I’m starting a new job. New position, new responsibilities, new everything.  I know you must be proud of me, as you always were. I know if this opportunity came months ago, I won’t be able to concentrate because I will focus on you. But still I want you to see me now.

The wine and limoncello must be kicking in because I’m feeling melancholy. But even without alcohol, I think I will always feel this way. I don’t know that I can miss someone this badly.

 

 

Sugar makes the world go round

Terima kasih sama bapak2 temanku tersayang yang membawa anak Jakarta kurang gaul ini ke Jl. Braga malam2. Terakhir kali gue ke Braga kayaknya waktu SMA. Selama ini kalo tugas ke Bandung gak pernah kesana lagi, entah karena sibuk atau gak kepikiran mau nongkrong di Braga.

Malam ini kami kerja nyambung2an. Pagi sampai sore workshop, lalu malam dua orang petinggi datang ke hotel buat ngobrol. Jam 8.30 malam baru bebas dan akhirnya kami memutuskan mau nongkrong2 cantik.

Temen2 gue yang dasarnya adalah orang Bandung meresponi permintaan gue “mau cari bir” dengan bawa ke Braga. Sambil mereka nunjukin bar2 yang agak gelap2 di berbagai pojok, sampe nunjukin hantu2an dan pocong2an di depan Asia Afrika 🙂 Ngajak gue minum agak ribet karena gue pengennya minum di tempat yang bebas rokok. Nah biasanya kan alkohol dan rokok sejalan, tapi tidak untuk gue.

Akhirnya diputuskanlah untuk nongkrong di resto klasik Braga Permai yang ternyata menjual alkohol lumayan lengkap dengan harga nggak premium2 amat. Bintang besar 55rb, Anker besar 40rb! Ada juga cocktail, wine, whiskey dll tapi kan tante seleranya bir aja udah cukup. Temen2 gue nggak minum tapi nyemil2 aja. Selain bir, gue milih makanan Balanda poffertjes yang biasanya gue temui di Puncak Pas Hotel. The verdict? Puncak Pas is better but any sugary food taste good after a long day. Apalagi ditemani bir dingin, waahh….

Ruangan yang bernuansa minimalis art deco, makanan resep kuno, pas live music-nya cocok, dan temen2 lama yang sejalan bikin malam ini jadi menyenangkan. Gue berterima kasih banget sama mereka karena mau diajakin nongkrong2 sampe jam 11 malam.

Kata temen gue: kerja tuh harus balance. Jangan lupa bahagia karena hal2 kecil begini.

Baiklah akan selalu kuingat. Jangan lupa bahagia, jangan lupa menghargai hal-hal kecil dalam hidup. Dan kadang cari bahagia kecil2an itu mudah: makan gula aja because sugar makes the world go round 🙂

Gorgeous Majapahit

After few years, I finally stayed at Hotel Majapahit again. Now under the management of Accorhotels, Majapahit is still as gorgeous as ever.

I’ve been attracted to Hotel Majapahit ever since I saw it featured in a magazine back in high school. Since then, I’ve wanted to go to Surabaya just to visit this hotel. When I started working and got assignments to Surabaya and finally got to stay there, I felt like my dreams had come true. It was as beautiful as I remembered pictured in the magazine.

Then I learned about the myths surrounding the hotel, but I didn’t care. Never had anything bothering me except the mosquitoes. So I tried to stay there as often as possible but my team leader (who happen to be a native Surabayan) prefer to stay elsewhere. Sometimes Majapahit’s rate were often above my office ceiling so even when I travel alone I couldn’t stay there. But even if I’m not staying there, I would visit to have a drink while enjoying their courtyard. That’s how fascinated I am with the hotel. And they’re so used of having people come to admire their hotel that the staff doesn’t bother you at all when you said that you want to enjoy the garden. Isn’t it great, beauty for everyone?

What attracts me the most to Majapahit? Yes its courtyards are beautiful and it has a special place in Indonesian history, but I appreciate most how authentic and well kept it is. Literally you’ll feel like you step back in time, with the beautiful art deco style that are prominent in many old Surabaya buildings and furniture to match. Everything feels genuine, not something procured for the sake of instagram photos. In this time and age where things can be doctored to fulfill a certain aesthetic, authenticity is a rarity and commitment to keep a piece of history alive should be admired.

In my last assignment to Surabaya, I was part of 3 people team. We ended up staying at three different hotels and my new team leader didn’t object. I, of course, chose Majapahit. People asked me a lot of questions upon learning that I’ll be staying there. “Isn’t it haunted?” tops the questions. “Aren’t you scared?” was the second question.

I’m not brave or anything, but it’s the fact that I stayed there several times in the past and never had any incidents. This doesn’t negate that some people do experienced something spooky. I know some colleagues who said that they’ll never stay there again. One got his door knocked at midnight and find nobody’s outside, another one got their kid crying uncontrollably while looking at the banyan tree on the inner courtyard (the infamous kunti*anak ghost is rumored to reside there), and another one heard the tap running by itself. My college friend who’s sensitive have seen ghost of a Pastor walking the stairs to second floor – which happen to be right next to the last room I stayed in (this is new because my google sleuthing comes up with ghosts of women, child, and a chef). But again, thank goodness I’m not sensitive and I sleep like a log so I managed to stay there  without incident. And I would prefer to keep it that way because deep at heart I’m a scared cat. I would regret it very much if I become too scared to enjoy this beauty….

Untitled

The first courtyard you’ll see from the lobby. Be careful to sit here after dark because the mosquitoes are vicious!

 

Untitled

The right wing courtyard. Mostly palms with one large tree.

 

Untitled

The left wing with two large trees. I’ve stayed both in left and right wings with no incidents so far, but I didn’t know which part my colleague (with the kid) stayed in.

 

Untitled

The romantic back garden which is perfect for your garden party. I witnessed a couple taking their pre-wedding photos here while I sit on the bench.

 

Untitled

Enter to the secret ballroom (NOT so secret but it makes a good photo backdrop 🙂 )

 

Untitled

This room on the 2nd floor is for staff only. It’s facing the roof top cafe. When I was taking selfies, an unknown voice came and said “mari bu, saya fotoin”. Died of embarrassment 😀

 

Untitled

You just need to turn back and see skyscrapers at the back. We’re back to 2019 downtown Surabaya

 

Untitled

2nd floor walkway. You can see the beautiful courtyard from here. See the symmetry, the seemingly endless columns. And those lamps! From the very beginning I always think that they look like, excuse me, Fallopian tubes 🙂

 

Untitled

The stairs to 2nd floor. The left wing also have identical stairs. Makes me wonder which one does my college friend’s referring to regarding the Pastor. He won’t tell.

 

Untitled

Even the classic (AKA the cheapest) room comes with a separate sitting room. You know, if you have guests coming to admire your posh hotel room 🙂

 

Untitled

The bedroom is separated by a wooden divider. TV is on the sitting room area but placed on a rotated platform to facilitate viewing from the bed area. Facing the bed there’s a wardrobe.

 

Untitled

There’s a separate shower box for those in hurry. Unfortunately I woke up too late to enjoy long morning bath.

 

Untitled

Once in a while I want to feel like an adult that got her sh*t together by drinking in this sophisticated setting. While obviously I’m not (got my s together, I mean).

 

Untitled

Even their ladies restroom is gorgeous. Look at those checker tiles! The iron basin frames! The toilets are so old fashioned, the water tank is placed about 2 metresh high and pulled with a chain! (although cleanliness could be improved)

I’ve been reading reviews and blog posts and posts from reviewers who actually stayed there said that they never had ghostly encounter while staying at Majapahit. We Indonesians love our superstitious and ghost stories, aren’t we? Okay, ghosts aside, I’ll stay there again if I had a chance. As long as they leave me alone 🙂

Tip: ask for the room at the front. I’ve stayed at a room at back which doesn’t face open area. It was damp and feels darker, which may lead to darker imagination 🙂

Stay gorgeous, Majapahit. You’ve been the highlight of many of my visits to Surabaya.

PS: I’m not affiliated or endorsed by Hotel Majapahit or Accorhotels. I’m an Accor member, that’s it. My office paid for my stay.

Terpesona Batik Jambi (2)

Dari hasil tanya-tanya kepada penjaga toko, berikut motif-motif Batik Jambi. Maafkan kalau tidak semuanya akurat karena hanya berasal dari satu sumber.

Untitled

Motif bungo raya

Untitled

Motif Rangrang

Motif burung kuau

Untitled

Motif durian pecah + angso duo

 

Untitled

Motif Batanghari

 

Untitled

Motif Batanghari

Untitled

Motif Batanghari

Untitled

Motif angso duo

Untitled

Motif buah pau

 

Untitled

Motif durian pecah

Untitled

Motif cumi

 

Untitled

Motif kepak lepas

Untitled

Motif durian pecah serong

 

Untitled

Motif Batanghari + angsa

Masih banyak lagi motif2 tradisional Jambi yang belum tergambar disini. Menyenangkan banget kan belajar kain di tempat yang baru 🙂 🙂

Setelah membahas tentang kain, makanan, dan objek wisata di Jambi dengan seorang teman yang sempat tinggal 12 tahun di Jambi, sepertinya kita akan menjadwalkan liburan ke Jambi deh, girls trip gitu. Mungkin nanti ya, kalo asap sudah reda…. karena sungguh Jambi itu pas sama selera dan lidah saya 🙂

Disclaimer: saya bukan ahli batik Jambi, bukan penjual, dan bukan perwakilan Batik Berkah. Semua informasi yang saya ditulis disini adalah berdasarkan keterangan penjaga toko waktu saya berkunjung.

Terpesona batik Jambi (1)

Pengalaman pertama menginjak kota Jambi sungguh berkesan. Makanannya yang ternyata enak banget, orangnya yang ramah, dan batiknya 🙂 Sayang waktu saya disana sedang berasap jadi sebagai orang yang sensitif pernapasan, langsung dalam sehari saya batuk berdahak.

Tapi, ya sudahlah. Tetap nggak nyesal bisa berkesempatan datang ke Jambi. Pempeknya itu ya… kok lebih enak dari Palembang. Pindangnya juga….. (maaf yang Palembang jangan tersinggung), hahahhahaa… Satu lagi yang bikin saya menikmati banget kunjungan ke Jambi adalah toko kainnya. Kebetulan saya diajak tuan rumah ke toko kain langganannya diantara sekian banyaknya toko Batik Jambi di Jl. Sumantri Brodjonegoro. Kebetulan kok cocok dengan selera saya dan ketika besoknya saya datang lagi untuk lihat-lihat dan tanya-tanya, saya selalu ketemu penjaga toko yang ramah, sabar dan bisa ditanya-tanya. Sebagai penggemar batik kelas teri tentu saya seneng banget dapat kesempatan untuk tahu motif-motif batik khas Jambi. Apakah ada toko lain yang juga sama bagus dan informatifnya? Bisa jadi, tapi kebetulan kali ini saya hanya mampir ke satu toko.

Waktu hari pertama datang ke toko batik Berkah (yang di Sumantri ya, karena ada cabang lain), saya sempat foto2 beberapa kain dan posting di Facebook. Yang paling menarik perhatian saya adalah batik pewarna alam karena pewarna yang dipakai sangat unik. Kalau umumnya pewarna alam yang dipakai adalah soga, indigo, atau secang, di Berkah dijual batik dengan pewarna kulit jengkol! Nah tuh, apa nggak langsung rame komen di FB tentang batik kulit jengkol ini.

Untitled

Batik pewarna alam dengan daun sirih dan kulit jengkol

Sayangnya di toko ini waktu saya datang hanya ada sekitar 6 pcs batik pewarna alam yang semuanya bernuansa coklat. Waktu saya tanya kenapa menggunakan kulit jengkol, apakah memang umum menggunakan bahan tersebut sebagai pewarna di Jambi, mbaknya tidak bisa menjawab. Jadi saya nggak tau apakah ini adalah kreativitas pengrajin Berkah atau memang hal yang umum. Untuk harga lumayan mahal; yang panjang 2 meter harganya 400.000, yang 2.5 meter 500.000. Nggak murah memang, tapi menang di unik.

Batik yang dijual di toko ini bahannya beragam mulai dari katun, dobby, viscose, shantung, dan sutera.  Setelah saya tanya2, warna tradisionalnya sebenarnya warna2 yang bold kayak merah, ijo, biru, oranye jreng. Tapi mengikuti selera pasar, akhirnya batik Jambi juga mengeluarkan warna-warna yang lebih kalem. Warna boleh dibikin kalem, tapi semua motif yang ada di toko ini adalah motif Jambi asli.

Berikut adalah batik tulisnya dengan warna-warna pastel lucuk.  Untuk batik tulis, harganya 750.000 untuk kain 2.5 m. Yang versi sarimbit dan kain (ini maksudnya buat bawahan dan selendang) juga ada, dengan harga yang beda yah.

Untitled

Batik tulis: dari kiri: motif burung kuau, perahu layar, (nggak tau), kuau, angso dua, angso dua

Yang sutra motif dan warnanya paling tradisional. Kalo kata saya mah, warna pejabat. Harga 550.000 untuk 2.5 meter. Berapa % sutra dan bahan apa saja campurannya? Wah nggak tau, karena nggak nanya, hehehehe… Tapi kalo menurut pengalaman tanya2 bahan di berbagai kota, nggak mungkin dengan harga sekian dapat bahan sutera 100%. Jadi mungkin yang pas bukan silk tapi silky 🙂

Untitled

Bahan sutra

Untuk harga di kisaran 300.000 per lembar, ada pilihan juga. Misalnya yang viscose ini, 350.000 untuk 2m. Warna kalem2.

Untitled

Bahan viscose dengan motif macem2, nggak sempat tanya 🙂

Untitled

Tumpukan batik bahan viscose

Lalu ada juga bahan shantung yang dibandrol 350.000 untuk 2m. Konon bahan ini diproses 2x. Diproses apanya, saya juga lupa tanya.

Untitled

Bahan shantung

Di lemari ini, yang bagian atas adalah kain shantung dan di bawah yang bahan dobby.

Untitled

Shantung (paling atas), dobby (bawah)

Nah, kalo budget 200 ribuan per lembar, pilihannya buanyaaaak banget. Menurut pendapat saya, Berkah sangat bijaksana dalam menentukan price point karena stok terbanyaknya di harga 150 – 250 ribu. Nggak kemahalan, dan nggak kemurahan juga sehingga pembeli masih merasa membeli kualitas. Misalnya karena saya posting gambar2 kain di WA Grup, beberapa teman saya jadi tertarik. Begitu tau bahwa harganya berkisar di 200 ribuan, makin tertarik lagi. Akhirnya ada yang nitip 2, 4, 5, dan 6 lembar! Mbak penjaga tokonya juga sabar banget, mau saja diminta membuka kain satu-satu supaya saya bisa fotoin.

Oke, untuk batik 200 ribuan ada beberapa variasi bahan, yaitu bahan dobby 2m (harga 250.000), katun biasa 2m (harga 150.000), katun biasa 2.5m (harga 200.000), dan katun sogan 2m (harga 200.000) dan katun sogan 2.5 m (harga 250.000). Motif antara katun biasa dan katun sogan sih sama saja, jadi kalau ada yang 2m mungkin ada juga versi 2.5m-nya. Bedanya kalo bahan sogan lebih bagus, karena dicelup dua kali – begitu kalo saya nggak salah ngerti.

Untitled

Batik bahan dobby yang pastel cantik

Dan selanjutnya ada beberapa lemari penuh dengan batik katun seharga 200-250 ribuan. Kalo nggak inget tagihan, kayaknya mau dibawa pulang semua tuh kain, hahahaha…..

Untitled

Katun biasa 2m

Untitled

Katun sogan

Untitled

Aneka motif katun

Kesimpulannya, belanja batik di Berkah menyenangkan karena:

  • Terjangkau karena dengan 200ribuan sudah dapat batik kualitas bagus
  • Stok barang dan motif banyak
  • Penjaga toko kebanyakan mengerti motif. Ada sih yang nggak begitu ngerti, tapi segera digantikan dengan mbak yang lebih berpengalaman begitu melihat bahwa customer-nya banyak nanya
  • Harga ditampilkan dan barang kelompokkan sesuai harga. Jadi nggak pake kejutan atau perlu tanya2
  • Selain batik, ada juga songket, baju jadi, dan suvenir2
  • Toko luas, terang, dan ada bangku buat menunggu

 

Disclaimer: saya bukan ahli batik Jambi, bukan penjual, dan bukan perwakilan Batik Berkah. Semua informasi yang saya ditulis disini adalah berdasarkan keterangan penjaga toko waktu saya berkunjung.

Di rumahMu

Aku masuk ke sebuah gedung yang katanya adalah rumahMu

Rumah dimana namaMu diseru dan dipuji, dan segala daya dilakukan untuk memujaMu

Kubawa kekhawatiranku dan segala ketakutanku, segala pergumulan dan kecemasanku dalam diam

Duduk di kursi kayu di ruang penuh cahaya

Mataku menatap ke altar, ke dinding dimana salib digantungkan

Ku diam termangu, menunggu

Kapan ada sinar menerpa diriku, kapan ada awan mengambil cemasku

Diam

Tapi tidak ada angin berhembus menyegarkanku. Tidak ada api hinggap atasku.

Senyap

Kutunggu lagi hingga cahaya mentari meredup, hingga langit menggelap, hingga panggilan doa panjang mengalun

Tetap, tak ada yang terjadi padaku

Aku menjerit dalam hati. Menatap gusar salib atas altar

Tuhan! Aku sudah hadir disini! Dimana Engkau? Mengapa Engkau diam? Angkat sesakku, buang pedihku, hapus tangisku, lapangkan dadaku!

Masih diam.

Tuhan! Teriakku lagi. Jauh aku datang ke rumahMu. Mengapa tidak Kau terima aku?

Tetap hening. Hanya nyamuk yang menemani

Dan aku keluar dengan gusar. Sepanjang hari ku duduk mencari kelepasan yang tak berjawab. Di sebuah rumah yang katanya rumah Tuhan

Mataku panas, dadaku sesak. Menatap bulan yang mengambang di langit disertai dingin angin berhembus

Tuhan, mengapa Kau tidak menjawabku?

Lalu samar suara dalam hatiku.

Anakku, Aku ada. Hanya kau yang tidak memanggilku.

Aku sudah datang ke rumahMu! Bukankah seharusnya Kau menemuiku?

Aku ada dimana pun kau berada. Engkau yang menunda bicara padaKu. Saat permasalahanmu sedikit, kau tak sampaikan padaKu. Saat bebanmu berat, kau merasa tak sanggup bicara padaKu

Tapi Kau sang Maha Tau! Tidakkah Kau tahu apa yang ada di hatiku?

Ya, Aku tahu. Aku menunggu kau datang membawa bebanmu. Bukan hanya diam mengharap semua selesai dengan sendirinya.

Bukankah aku harus beriman? Bahwa Kau akan menolongku?

Imanmu adalah ketika kau bawa masalahmu padaKu dan percaya akan kuasaKu.

Dan aku terdiam menatap bulan. Dia yang kucari tidak ada dalam gedung yang disebut rumahNya.

Dia yang kucari ada di dekatku. Kalau saja aku bicara kepadaNya.

Gereja Bukit Doa, Komplek Puja Mandala Nusa Dua Bali