Makan Tebet: Bakmi Berdikari

Yang paling gampang membuat gue ngiler dan penasaran adalah bakmi. Kalau ada gosip bakmi yang katanya enak dan lokasi terjangkau (misalnya di PIK katanya banyak banget makanan enak, tapi gimana juga caranya sampai ke PIK?), pasti deh pengen mencoba.

Pertama kali dengar Bakmi Berdikari adalah dari teman satu proyek yang rumahnya di daerah Tebet. Konon Bakmi Berdikari adalah neighborhood favorite sejak dia kecil, penyelamat saat di rumah gak ada makanan dan bakmi gorengnya adalah makanan wajib kalau pas ada acara di rumah. Kalo denger temenku itu menggambarkan Bakmi Berdikari, kayaknya kok enaaaakkk banget, gimana nggak penasaran kan? Sebetulnya gue juga sering main ke Tebet, tapi mainnya dengan teman yang rumahnya di sisi lain Tebet. Sementara yang namanya Tebet itu kan luas dan segala ada ya, jadi sering nongkrong di Tebet Barat bukan berarti tau apa yang ada di Tebet Timur, begitu…

Suatu malam setelah selesai ke dokter gigi, akhirnya diputuskanlah mendatangi Bakmi Berdikari. Pertama2, carinya juga agak bingung karena selama ini gue mikirnya yang namanya Tebet Timur itu cuma yang di belakang Tebet Green. Ternyata sampe ke belakang sana namanya Tebet Timur juga, hahahahha…. (ketauan banget manusia gagap arah). Akhirnya setelah google dan tanya jalan, ketemu juga restorannya. Ancer-ancernya adalah dekat Pasar PSPT, kalau datangnya dari arah MT Haryono berarti Bakmi Berdikari adanya di sebelah kanan jalan.

Kesan pertama dari luar, wowww…. restorannya lumayan bagus. Jauh di luar bayangan, karena biasanya kan warung bakmi deket rumah itu yaa…. warung biasa aja. Rupanya restoran Bakmi Berdikari itu ada dua dan berdekatan. Yang aslinya yang memang seperti warung aja, isinya beberapa meja di ruang terbuka tanpa AC. Sementara di resto yang baru, desainnya modern, terang, dan full AC. Pelayanannya juga oke. Sejak parkir mobil di seberang jalan, Pak Satpamnya ramah dan membukakan pintu mobil (macam di mall aja), sementara mbak pelayannya juga ramah menjawab pertanyaan2 gue. Waktu gue datang sekitar jam 8.30 malam, restorannya sih rame tapi tidak penuh jadi masih ada beberapa meja yang kosong. Berdikari ternyata lebih seperti Chinese food bukan semata warung bakmi, karena menunya beragam mulai dari mie, bubur, dim sum, sampai bebek! Kalo liat2 meja sebelah, mereka pada pesan makanan non bakmi juga, berarti semua menu mungkin seragam enaknya. Tapi karena gue ke Berdikari pengennya mencoba bakmi, jadilah mesen yang paling gampang: bakmi ayam komplit (Rp. 32,000). Komplit isinya, mulai dari jamur, bakso, pangsit goreng atau rebus.

Setelah nunggu tidak terlalu lama, datenglah bakminya dengan tampilan seperti ini:

Bakmi komplit. Semua ada, macam supermarket *apa seehh*

Ternyata, bakminya adalah jenis mie kuning pucat (bukan yang kuning banget) dengan diameter sedang dan tekstur yang halus. Rasanya juga lembut, tidak chewy tapi juga nggak lembek banget. Sebetulnya ini bertolak belakang dengan preferensi gue selama ini yang lebih menyukai mie yang agak keras dan chewy seperti Mie Siantar, tapi setelah dicoba, ternyata mie-nya Berdikari beneran enak, kok. Enaknya bukan yang ‘nonjok’ karena MSG ya, tapi secara keseluruhan rasanya itu balanced. Rasa mienya, rasa ramuan minyaknya, rasa ayam dan jamurnya, dan juga kuahnya yang agak tawar. Sepertinya fungsi kuah ini memang cuma untuk menemani mie saja supaya tidak seret, karena tidak banyak rasa dalam kuahnya. Tapi saat dicampur semua, plus sambelnya, wah enak juga. Baksonya juga lumayan ada rasanya, nggak seperti biasanya dimana bakso itu cuma ‘pelengkap penderita’ aja dari semangkok mie karena sering rasanya biasa banget atau malah ngasal. Mungkin Berdikari bikin sendiri baksonya dan bukan beli, jadi rasanya masih terjaga.

Kesimpulannya, senang deh nemu restoran bakmi baru. Untuk rasa, variasi menu, dan harga, rasanya Berdikari memang pas didatangi bareng keluarga. Lumayan banget buat ngajak mama makan, misalnya, biar ada variasi nggak cuma ke Bakmi Golek melulu. Kalau melihat tamu yang ada malam itu, sepertinya kebanyakan yang datang memang langganan karena owner-nya sibuk menyapa tamu di beberapa meja. Beneran neighborhood favorite deh!

Pasti balik lagi someday, mau mesen bakmi gorengnya untuk bungkus. Gosip yang beredar, mie gorengnya enak dan kalau bungkus porsinya gedeee sekali, hahahahaa….. Sayangnya, Bakmi Berdikari nggak ada menu babinya, alias halal. Sayangnyoooooo….. 😀

Bakmi Berdikari (websitenya keren lho!)

Jl. Tebet Timur Dalam no. 41

021-8304-777

Makan Tebet: Sroto Eling-Eling

Sebetulnya pertama kali tau tentang Sroto Eling-Eling ini adalah lewat artikel di Kompas, terus suatu hari karena ada waktu luang sebelum harus ke dokter gigi, jadilah gue niat mencari sroto yang satu ini. Penasaran saja, apa sih bedanya sroto dengan soto biasa? Jadilah mampir ke Sroto Eling-Eling sekitar jam 4 sore karena kebetulan memang belum sempat makan seharian (uhuuyyy….. konsultan berdedikasi!!). Restorannya ternyata cukup besar di ujung jalan Tebet Utara 1. Sebagai orang yang gagap arah, gue bergantung pada supir taksi untuk mencarikan jalan ke sana. Syukurnya dapet supir taksi yang tau jalan, dan sampailah dengan mudah ke tempat tujuan. Masuknya dari Jl. Lapangan Ros setelah Bebek Kaleyo/Dunkin, belok kanan di pertigaan pertama (Jl. Tebet Raya) kemudian belok kanan lagi setelah lewat Warteg Warmo. Sebetulnya sih kalau jalan kaki restorannya lebih dekat ke Jl. Lapangan Ros tapi berhubung Jl. Tebet Utara 1 itu satu arah, jadi masuknya memang harus dari Jl. Tebet Raya.

Jam sekian, restoran Sroto Eling-Eling cukup sepi, cuma ada 1 meja lain yang terisi. Restorannya sendiri besar dan permanen gitu, suasananya juga blong aja jadi nggak pengap. Ada tempat parkirnya juga, walau terbatas. Setelah liat menu, akhirnya memutuskan untuk memesan Sroto Komplit (ati + ampla + daging + ayam) dan nasi putih. Lalu teringat bahwa mendoan disini disebut enak sekali, maka mesen mendoan juga 1 porsi. Untuk minum, pesan jus blimbing untuk mengimbangi makan jeroan. Pelayan yang mengambil pesanan kayaknya baru, jadi masih agak salah-salah.

Sambil nunggu makanannya keluar, gue jadi tertarik sama rempeyek kacang yang disediakan di meja. Seperti menggoda sekali karena ukurannya yang lumayan gede dan kacangnya yang banyak. Jadilah gue ambil sepotong rempeyek untuk teman makan sroto.

Srotonya sendiri waktu datang kelihatannya nggak semenarik foto-foto yang ada di dinding karena kerupuk merah dikasih sedikit banget, sementara di foto kan tampaknya meriah banget karena paduan warna kerupuk dan kuah sroto. Lalu suapan pertama juga kayaknya kok biasa banget, apa yang dibilang enak ya? Eh tapi setelah ditambah sambel dan diaduk dengan baik, baru terasa rasanya yang unik karena kuah sroto adalah paduan kaldu ayam dan kaldu sapi. Apalagi sambelnya pas banget… enak! Makan makin asyik karena ada rempeyek yang garing-garing, dan ternyata rempeyek ini rasanya memang seenak tampangnya! Pas banget deh, belom makan siang, trus dapet makanan hangat berkuah dengan isi yang lumayan banyak.

Karena asyik makan sroto, sampai lupa bahwa mendoannya belom keluar. Setelah tanya pelayannya, ternyata dia lupa, sodara2! Jadilah mendoan munculnya setelah sroto tinggal sisa sendikit. Mendoannya lumayan besar dan disajikan dengan rawit (yang gak sedikit, serasa harga cabe belom mahal deh!)

Nah, ini satu hal yang gue gak ngerti…. apa sih intinya dari mendoan itu? Tempe melempem? Tempe berminyak? Mungkin selera gue aja yang gak nyampe ya, karena betulan gue gak ngerti apa enaknya mendoan itu (secara umum) maupun secara khusus di restoran ini, padahal banyak yang memuji mendoannya. Kayaknya ini masalah selera banget, karena gue terbiasa makan tempe yang garing jadi gak ‘ketemu’ apa enaknya tempe yang meleyot gitu.

Total untuk sroto komplit, nasi putih, mendoan, tempe dan jus belimbing sekitar Rp. 55,000 – lebih dari yang diperkirakan tapi masih masuk akal mengingat gue mesennya banyak begitu. Is it worth the price? I think so. Will I be back? I will, someday. Maybe not soon, but I will if I’m in the vicinity. 

Sroto Banyumas Eling-Eling

Jl. Tebet Utara 1

Kisah lanjutan si Implan Gigi

Menyambung kisah Implan gigi: sakitnya itu di dompet ini, syukurnya, proses panjang selama 6 bulan untuk tanam gigi palsu akhirnya berakhir dengan sukses.

Selesai tanam implan seperti yang dijelaskan di posting di atas, selanjutnya harus menunggu 3 bulan untuk memastikan terjadinya proses penulangan, yaitu proses alami dimana implan yang ditanam di tulang rahang (iya… serem banget emang, tanamnya di tulang!) menyatu dengan tulang sekitarnya. Tujuannya tentunya supaya implan yang akan menjadi ‘akar’ buatan buat gigi palsu benar-benar kokoh tertanam di tulang rahang. Kalau setelah 3 bulan proses penulangannya kurang baik, maka harus dilakukan proses bone grafting sebelum gigi palsu bisa ditanam.

Syukurnya setelah 3 bulan dokter merasa puas dengan kondisi penulangan pada implan yang ditanam, berarti…. lampu hijau. Proses tanam gigi bisa dilanjutkan. Kalau musti pake bone grafting dulu, mungkin musti menunggu beberapa bulan lagi sampai bone grafting-nya berhasil dan implan kokoh tertanam.

Nah proses selanjutnya adalah memasang connector, itu adalah semacam baut yang dipasangkan dengan implan (yang bentuknya memang berulir seperti mur). Untuk masang connector ini berarti gusi harus dibuka lagi karena connector-nya kan harus disambungkan dengan implan. Karena connector ini fungsinya menyambungkan akar buatan (implan) dengan crown buatan, maka dia mencuat keluar gusi. Panjangnya tergantung besarnya crown yang nantinya akan dipasang, tapi lumayan panjang lah, berasa kalau kesenggol lidah. Waktu memasang connector sih nggak sakit (setelah merasakan sakitnya gigi pecah dan ekstraksi pecahan yang akarnya masih sangat sehat itu, kayaknya gak ada prosedur gigi lain yang lebih sakit dari itu), yah luka biasalah karena gusi yang terbuka, tapi selebihnya berasa biasa aja. Memang dianjurkan untuk mengunyah di sisi sebaliknya dulu karena takut ada makanan nyelip ke luka yang masih terbuka, tapi selebihnya nggak ada nyut-nyutan apalagi infeksi (jangan lah yawww….).

Kontrol selanjutnya adalah 3 hari setelah connector terpasang. Disini gue mulai komplen karena connector yang nonjol itu bikin lidah luka karena tergesek, dan dokter juga menganjurkan supaya dipasang crown sementara. Gue sih setuju aja, walaupun berarti ada pengeluaran lagi. Crown sementara biayanya Rp. 500,000, tapi kalo nggak pake crown resikonya adalah lidah luka-luka dan sariawan. Derita banget kan sariawan di lidah itu… apalagi kalo lebih dari satu. Makanya direlakanlah biaya Rp. 500,000 demi bikin tudung sementara sang connectorProses pembuatan crown sekitar seminggu, dan setelah pemasangan dokter menyuruh balik lagi seminggu kemudian. Eh, ternyata, baru 5 hari crown sementara-nya udah lepas waktu makan, untung nggak ketelan. Gak apa2 sih sebenernya, pasti akan keluar juga dalam proses pembuangan, tapi sayang juga biaya yang udah dikeluarkan. “Lem” yang dipakai untuk memasang crown sementara memang bukan yang kuat karena nantinya crown akan diganti juga, makanya gampang lepas. Waktu kontrol, crown sementara-nya dipasang lagi deh oleh dokter.

Crown sementara yang sekarang sudah tidak dipakai lagi. Buat apa ya? Masa buat jimat? 😉

Setelah 2 minggu memakai crown sementara dan dokter puas dengan kondisi penyembuhan permukaan gusi, baru deh dilakukan pencetakan crown permanen. Nunggu seminggu lagi (sementara si crown sementara sudah lepas lagi), dan tadaaaa….. si permanen siap dipasang. Rasanya beda ya, yang crown permanen kayaknya lebih “gendut” daripada yang sementara. Terus, berasa aneh juga karena area gigi itu sudah terbiasa kosong sekian lama. Waktu gue komentar mengenai “kegendutan” si crown permanen, dokter bilang emang harus rapat dengan gigi-gigi sebelahnya seperti kondisi gigi alami. Dan bukan berarti gigi ini gak bisa copot ya, dokter selalu wanti-wanti bahwa yang namanya bikinan pasti nggak akan sebaik aslinya.

Jadi minggu ini adalah akhir dari proses panjang implan gigi. Rasanya legaaaa banget, terlebih karena gak ada keluhan dengan gigi yang baru. Semoga tetap nggak ada masalah lah… cape bolak-balik ngapelin dokter gigi, hehehehe…. Setelah semua selesai, si dokter gigiku yang ramah, sabar dan baik hati ini nyalam sambil bilang, “selamat ya bu, gak usah ketemu saya lagi tiap minggu…” Ah dokteerr…. pasti balik kok, dok, kayaknya gak bisa ke lain dokter lagi deh…. *nabung duit buat kunjungan dokter gigi berikutnya*

Gigi baruku… oh senangnya! Sayang hasil rontgen-nya kurang kece, gak sejelas foto implan yang sebelumnya.

Total jendral dari proses implan gigi:

Implant and connector: Rp. 18,000,000

Scaling sebelum pasang connector: Rp. 500,000

Crown sementara: Rp. 500,000

Crown permanen: Rp. 3,500,000

Total: Rp. 22,500,000 *beneran DP mobil ya?*

Ini belom termasuk ongkos bolak-balik ke dokter di Tebet, kadang bisa dianter jemput, kadang naik aksi, kadang musti ngojek. Belom lagi biaya persiapan mental sebelum prosedur besar, yaitu siap2 makan enak dulu karena tau nantinya abis gusi dibuka tutup itu pasti gak akan bisa makan. Trus ada lagi biaya nunggu giliran di dokter gigi, yaitu melipir ke salon terdekat buat mani-pedi, hahahaha…. Total out of pocket cost? Ya besar juga 😀

Dokumen-dokumen sudah dimasukkan ke pihak asuransi, finger crossed, segera di-reimbursed tanpa lama dan tanpa basa-basi. 20% dari kantong sendiri sebagai co-payment emang berasa banget ya di kantong, apalagi saat menjadi free lancer ceria banyak gaya seperti ini, tapi bersyukur banget bahwa 80% biayanya bisa ditanggung asuransi. Kembali dengan judul postingan sebelum ini, implan gigi itu sakitnya emang di kantong, tapi nggak ompong lagi is priceless 🙂

Makan Tebet: Home cooking style at 2 Ikan Ny. Tiambun Tebet

== restoran ini sekarang sudah tutup. sayang yahh…. 😦 ==

There is a restaurant right next to Pasar Tebet that caught my eyes every time I passed through Jl. Tebet Barat, a restaurant uniquely named 2 Ikan Ny.Tiambun Khas Medan, as the billboard advertised for meal sets with dishes like sayur daun singkong (cassava leaves soup) and teri (small anchovies) Medan. So one day I went in around 2 PM, but at that time they were sold out of most of everything. Today, I came back around 11 AM before the lunch rush started. I ordered rice, sayur singkong tumbuk, teri Medan, and guava juice.

The dishes look and taste like home cooking. These are the things that my late grandma used to cook for me, and it was a bit nostalgic to have them for lunch. Everything tasted just so, not too overpowering, not too spiced up. The sayur daun singkong could use more flavor, but in general it was OK. I didn’t taste any trace of MSG in these dishes, so they are just like my home cooking because my family don’t use MSG in our food. The teri was cooked a bit differently, because there they served it deep fried with dried sambal, while at home I’m used with the teri completely cooked in chili so it’ll be spicy. But to accommodate those who like their food to be on the spicier side, they also give sambal tomat on the side although for me those are mild enough.

Teri Medan, sambal tomat, sayur daun singkong tumbuk

While the restaurant called itself a Medan restaurant, most of their dishes are Batak food. I understand that since they don’t call themselves Batak restaurant to distinguish them from traditional lapo that sells pork. I recognized most of their menu from memory, as those were also what my grandma used to cook. They have ikan sale, terong tauco, sayur bangun-bangun, arsik, sambal andaliman, sup gurame, and so on – all with affordable price tag. I was excited to see sayur bangun-bangun in the menu, as it is something that I haven’t eat in 30 years. We used to grow bangun-bangun leaves in containers in my grandma’s home, so there were time when she used to cook them for me.

The restaurant also have 3 set meals with price ranged from Rp. 25,000 to 35,000. And since I always came during off hours, the proprietor always took time to chat with me. Next time I stopped by, I will get one of those set meals and sayur bangun-bangun.

My total was Rp. 51,700 with teri being the most expensive item (Rp. 20,000 per serving). Actually, the serving of both sayur and teri were more for 2 persons portion, but I managed to finish the sayur and take half of my teri home. It was a satisfying meal due to the taste and memory associated with those dishes, and I’m glad to support a mom and pop establishment.

Menu

Implan gigi: sakitnya itu di dompet!

Setelah beberapa bulan iya nggak, menimbang konsekuensi vs potensi sakit vs biaya (adowww!), akhirnya kemaren jadi juga mulai proses implan gigi yang sudah dicabut. Kan bulan lalu sudah periksa, dan dokter bilang bahwa luka bekas cabut pecahan gigi sudah tertutup rapi dan kayaknya rahang sudah keras. Tambahan lagi, mumpung asuransi masih bisa cover biaya implan.

Estimasi biaya implan untuk geraham (mungkin untuk gigi lain juga sama):

Implan (ini seperti mur yang ditanam ke tulang rahang): USD 1,500 –> beneran, gak salah baca!

Crown (ini gigi tiruannya yang kemudian dipasang dengan baut ke dalam implan): Rp 4,000,000

Bone graft (kalau diperlukan, kalau penulangan implan tidak sesuai dengan yang diharapkan): USD 95

Membrane (ini kurang jelas apaan sebenernya): Rp 1,000,000

Belum lagi tambahan lain seperti biaya kontrol, X-ray 3D (Rp 500,000) dan obat2an.

Total jendral buat implan: sekitar Rp. 24 juta. Pas pertama kali tanya harga, pengen pingsan di tempat, nggak nyangka segitu mahalnya. Kirain paling mahal 5 jutaan. Kenapa mahal? Karena ini tipe gigi tiruan yang ditanam, bukan yang dilepas2. Memang untuk menutupi gigi yang hilang bisa saja nggak usah pakai gigi palsu, tapi pakai bridge dimana dibikinkan ‘jembatan’ yang menghubungkan gigi kiri, daerah gigi hilang, dan gigi kanannya, lalu di’selimuti’ jadi seperti jembatan panjang antara 3 gigi. Tapi 2 gigi sebelah2nya harus dikikis supaya muat jembatannya. Kalo seandainya gigi kanan kiri juga rusak, mungkin nggak apa2 pakai bridge. Tapi kalau gigi sebelah2nya bagus, amat sayang kalau harus di’rusak’ demi bridge. Dokter gigi sih pasti akan sangat menyarankan mempertahankan gigi kalau gak bermasalah, soalnya sebaik2nya yang buatan tetep lebih baik yang alami.

Sebelah kanan: implan DP mobil. Cakep ya?

Lalu kenapa nggak boleh dibiarkan aja gigi yang hilang tetap kosong? Karena gigi itu saling bersandar dan saling berpasangan. Kalau ada tempat yang kosong, otomatis gigi kanan dan kiri yang kosong itu kehilangan sandaran, dan gigi akan bergeser atau goyang. Gigi atas yang harusnya ketemu dengan gigi yang hilang itu juga akan ‘turun’ kalau nggak ada pasangannya. Buktinya, hasil medical check up kemaren (di rumah sakit yang beda, dengan dokter yang beda) menyatakan bahwa gusi atas gue udah turun. Itu karena si geraham bawahnya nggak ada…..

Kalau denger kayak gini, kembali terpikir, tubuh manusia itu benar2 terdesain dengan komprehensif, terintegrasi, dan ada simetri dan keteraturan. Satu hal mempengaruhi hal yang lain….

Singkat kata, diputuskanlah menggunakan implan tanam. Asuransi kantor lama sudah setuju dengan cost estimate ini, dan gue udah siap2 (mental) untuk membayar 20% dari proses ini. Tapi sekali lagi, dasar gue tuh pemalas. Bukannya dari dulu mulai proses implan, tapi ditunda2. Nggak kebayang bahwa implan itu tidak bisa dilakukan sekali datang tapi bertahap – butuh sekitar 6 bulan deh prosesnya. Kenapa lama? Cabut gigi yang pecah, abis itu nunggu 3 bulan sampai luka cabutan ketutup dan terjadi penulangan, baru masukin implan, trus nunggu 3 bulan lagi supaya terjadi penulangan lagi dan implan menyatu sama rahang, baru ditanam connector dan cetak crown, baru pasang crown, Yah keburu lewat lah masa pertanggungan asuransi lama. Tapi karena komponen paling mahal adalah bayar implannya, maka biarpun last minute gue jalanin. Biar gimana pun, dimana pun gue bekerja nantinya, nggak etis lah kalau baru 1 bulan kerja langsung masukin bon implan sebesar USD 1,500. Pikir gue, syukur kalau komponen itu sudah ada yang nanggung. Nanti buat crown dll, semoga Tuhan kasih rejeki. Amin!

Sebelum ketemu sama dokter, sengaja menyenangkan hati dengan sarapan enak. Walaupun dari dokter gizi disuruhnya sarapan hanya setangkup roti dan teh tawar, tapi karena sadar bahwa gue gak akan bisa makan enak seharian, maka sarapan hari ini agak digeber. Berhubung perginya nebeng, sambil nunggu tebengan beli egg muffin di McD (trus nyesel, karena gak suka bau melted cheese-nya). Lalu di Tebet, gak jauh dari dokter gigi, makan Somay Pink karena inget beberapa hari lalu ngileeer banget pengen makan somay. Abis itu baru jalan ke dokter gigi, sikat gigi, dan siap2 mental.

Bersyukur banget, dokter gigi gue itu baik dan empati sekali sama pasien. Sejak masuk, diajak ngobrol kanan kiri. Sempat membahas sakit maag (baik gue maupun si dokter), bahas alergi, dll dsb. Diajak ngobrol terus. Jadi bukan tipe dokter yang langsung ‘yak silakan tiduran mana bor mana selang’. Nggak. He takes time to put me at ease. Waktu proses baru dimulai, belom mulai potong2 baru suntik2 kebal, gue minta time off sebentar karena tegang banget sampe gemeter dikit. Setelah atur napas dan berdoa terus2an, mulai lagi deh. Tau bahwa gue tegangnya minta ampun, si dokter tetep cerita macem2 sambil kerja. Bahkan sampe cerita soal masalah gigi dia sendiri lho…

Kenapa gue gemeter banget? Karena sudah dijelaskan bahwa prosesnya adalah: 1) buka gusi, 2) membor tulang rahang dengan kedalaman yang tepat sehingga tidak terlalu dekat dengan syaraf,  bikin lubang yang cukup, 3) tanam implannya, 4) tutup lagi gusinya. Membor tulang itu lah yang bikin gue ngeri, belom lagi kekhawatiran gimana kalo ngebornya kedaleman dan kena syaraf. Kebayang lah gimana gue nggak goyang disko mikirin hal itu. Tapi dari awal sampai akhir, gue berdoa terus. Beberapa hal yang agak menenangkan adalah karena temen gue sudah pengalaman implan sama dokter yang sama dan berhasil, kemudian juga setelah tahu bahwa si dokter ini spesialisasinya memang yang berhubungan dengan syaraf (mungkin perio yah?) jadi implan2 ini memang keahlian beliau.

Pada saat gusi dibor, cuma berasa tekanan aja. Lalu dokter masukin dummy implan untuk ngetes kedalaman dan kelebaran lubang yang sudah dibor. Dummy itu kemudian dicabut dengan tang, jadi agak kaget juga waktu tau2 dokternya minta tang, hahahaha….. Karena kurang pas, dibor lagi, baru kemudian dimasukin implan benerannya. Nah, waktu masukin implan benerannya inilah yang paling horor, karena dipukul pake palu! Dokternya sih bilang, “bu, maaf ya, saya ketok implannya”.

Setelah 5 kali ketok (gak sakit sih, namanya juga dibius), trus hal paling lucu terjadi. Dokternya bilang “kalo nikah, ini udah sah karena udah ketok palu!”. Walaupun mulut penuh dengan alat2, gue jadi ketawa juga saat itu. Kemudian implannya dipotong sesuai kebutuhan, dan gusi dijahit kembali untuk menutupi implan. Sudah, selesai.

Waktunya nggak sampai 1 jam, dan nggak sesakit/nggak nyaman waktu nyabut pecahan geraham yang tertinggal waktu itu. Rasanya legaaaa banget…

Setelah implan, selain sedikit rasa aneh di mulut, nggak ada efek apa2. Nggak sakit, nggak apa. Pulang dari dokter gue jalan ke apotik, cari taksi, dan sempet belanja di Junction. Di rumah juga biasa2 aja. Emang mau makan agak segen, karena masih terlalu baru. Tapi dibanding waktu cabut gigi, implan ini jauh lebih nggak mengganggu. Kalau soal makanan, dianjurkan menghindari yang panas2 dan berkuah beberapa hari ini, trus 15′ habis makan sikat gigi dan kumur dengan Minosep. Selebihnya, dikasih antibiotik dan anti bengkak, plus boleh minum Ponstan kalau diperlukan. H+1, gak ada bengkak apalagi sakit. Malah hari ini gue udah sempet jalanin 2 miles walk exercise-nya Leslie Sanson segala (ini sih nggak ngaruh ya, hehehehe)

Yang sakit, adalah bayarnya. Si dokter selalu ketawa kalau gue bilang implan DP mobil, karena emang biayanya sebesar DP mobil. Dokter nggak tau aja, ini adalah gigi termahal dalam hidup gue. Dulu waktu bolong, pilihan gue adalah root canal atau ganti laptop. Gue milih melakukan root canal untuk mempertahankan si gigi, padahal laptop sangat diperlukan buat disertasi. Eh, setelah pulang ke Indonesia, giginya pecah dan gak bisa dipertahankan. Biaya perawatan, cabut gigi, dan implan penggantinya entah udah berapa. Beneran deh gigi 47 ini, muahaaalllnya nggak terkira kalau mau diitung sejak dari biaya root canal dulu.

Lesson learned: jangan suka menunda-nunda, akibatnya rugi sendiri. Kalau dulu begitu pulang langsung bikin crown buat gigi yang sudah di-root canal, mungkin si gigi gak pecah. Kalau begitu dapet asuransi langsung ke dokter gigi ngurusin implan, biayanya akan ditanggung asuransi, bukan cuma komponen implannya aja. Pelajaran super mahal.

Dental implan, sakitnya emang bukan di mulut. Sakitnya tuh di dompet!

Dokter gigiku yang baik hati dan sangat peduli pasien ini adalah drg. Stephen Enrico (dr. Rico), praktenya di drg. Agus Kadrianto & Associate. Tebet Barat VII/8, telp 829-8005, 830-6244. Klinik ini katanya emang beken. Emang mahal ya, tapi dokternya berkualitas dan yang paling penting, peduli sama pasien!

Makan Tebet: Goat got your brain?

Wednesday was a tiring day. Really. We went all the way to Cibitung to sign off our right to claim a house that was sold around 10 years ago. My parents sold a little BTN house in Bekasi Barat to my dad’s uncle, without any formal bill of sale. So this time, the house will be sold again by the youngest child who inherit it to her sister. A little (not so little) drama ensued. After all, this is a Batak family where temper doesn’t exactly controllable. Mom somehow got dragged in the middle of family quarrel, much to her regret hours later.

Our route that day was Cibubur – Cibitung – Bekasi Barat – Cawang – Perdatam – Tebet – Cawang. After we finished with the bank, went to another aunt in Bekasi, go back to the bank, drop mom off, pick up another aunt, then off we go to Tebet to eat. They – former Tebet residents – suggest a sop kambing vendor. Hey, I’m not exactly new to this. Nan took me here months ago when she was heavily pregnant 🙂

Behold, the glory of sop kambing. My choices are meat and innards. My sister, the big wuss, chose to order nasi goreng from vendor across the street instead. She doesn’t eat strange cuts of meat. On the other hand, I’ve never meet innards that I won’t eat. Just before our orders were about to be ready, I saw something wrapped in leaf, like lemper. Turn out it was the brain. I can eat cow brain, so I order one to add to my soup.

All I can say that goat’s brain doesn’t taste much different than cow’s. We happen to get the seat just in front of two boiling pots of soup, so whenever the cover was lifted, we got the full smell and heat of goat. Like goaty sauna… hehehehe…

The soup was good, flavorful, the meat was tender, and it doesn’t stink much. The ‘secret’ ingredient of this soup is the mentega cap onta added to the bowl before the owner ladle the soup. We ordered sate also, and even my sister said that it was good. It was no place to take leisurely meal, as customers waiting to get to whatever empty seat. Try to eat with people waiting and standing behind you was no picnic.

Our meal, 1 order of sate, 3 orders of soup (one order legs, the most expensive item in the menu; one ordered mix meat including eyes; and I ordered meat, innards, and brain), three teas and two orange juices come to Rp. 169,000. Good, satisfying food.


Kedai Estu Rame, Jl. Tebet Barat Dalam

(masuk dari Gelael, letaknya sebelah kanan)

The seller, Bang Nik (I learned his name from my aunts who lived across the street from this vendor most of their life), usually ask his helpers to identify who ordered the next bowl of soup he’s assembling, and will look at you directly. Nan strongly suspected that he’s reading some mantra to keep you coming to his stall. My aunts said that even celebrities are regular to Bang Nik, one of which is Achmad Albar. Oke deh tanteee….